Kisah Dua Dojo (A Tale of Two Dojos)


This is not a Charles Dickens novel. This is also not a story of London and Paris. This is the story of a kendoka who sometimes travel in two places, Jakarta and Surabaya, the two largest cities in Indonesia. Jakarta, the capital city of Indonesia, is located in West Java. Surabaya is located in East Java. The distance between the two cities is around 780 km.

There are many differences in the two cities. For example, the weather. In December, Jakarta experiences heavy rain. On the other hand, the sun still shines brightly in Surabaya. When we go to the dojo in Jakarta, we have to take into account any traffic jams. Life and traffic in Surabaya are not that complicated, at least for me.


Setiap dojo yang saya datangi memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri.  Saya belakangan ini kerap  mengunjungi dojo Kendo Surabaya, yang terletak di tengah kota Surabaya, Jawa Timur. 


Kesan pertama dahulu yang bisa saya tangkap di hari pertama adalah suasana hangat, guyub, dan ramah.

Ya. Ramah.

Saat kedua kali datang, saya sempat menyerah, merasa mustahil bisa latihan Kendo, karena ada peralatan yang memang tidak dibawa. Eh, ternyata sudah di bawakan oleh sensei sendiri. Akhirnya saya bisa latihan. Setelah selesai, saat memperkenalkan diri kepada sensei, saya bingung mau pakai bahasa Jepang atau Inggris (kebiasaan di dojo asal). Akhirnya dengan gaya maksa, saya belepotan bicara pakai bahasa Jepang dan semua tertawa. 

“Disini semua bisa bahasa Indonesia.” kata salah seorang anggota. 

DZIEG.🤪

Di dojo asal saya berlatih, kita bisa mudah bertemu mereka yang aktif bicara bahasa Inggris dan Jepang. Teman usia muda seangkatan saya saja sangat fasih berbahasa Inggris. Mau tidak mau jadi dimotivasi kuat untuk belajar kultur budaya Jepang, lengkap dengan segala bentuk kedisiplinan dan latihan rutin. Selain itu juga merupakan tempat “transit” banyak kendoka asing. Bila berbicara dengan sensei, jika kita tidak bisa berbahasa Jepang, bisa memakai bahasa Inggris. Singkatnya, suasana multikultural kental.



Sementara di dojo Surabaya (jadi nostalgia) rasanya seperti jumpa dengan anak-anak PPI atau sedang ada di Kedutaan Indonesia. Di Kedutaan, sudah sering saya berinteraksi dengan orang-orang asing yang fasih bicara Indonesia, yang malah suka ngambek kalau diajak ngomong pakai bahasa negaranya (niat kuat mereka memang untuk belajar budaya dan bahasa Indonesia).

Ketika dojo asal adalah tempat saya belajar kultur negara lain, dojo Surabaya is full of heartwarming people where I really feel at home.

No comments

Powered by Blogger.